MEMBACA ALQURAN BERJAMAAH DAN MENGHADIAHKAN AMAL IBADAH
UNTUK ORANG YANG SUDAH WAFAT SERTA MAULID NABI - 70317
Kami berkumpul setiap hari Ahad di akhir bulan
bersama sejumlah kaum ibu berjumlah 30 orang atau lebih. Kemudian setiap orang
secara sendiri-sendiri membaca dua atau tiga hizb Al-Quran hingga akhirnya kami
dapat mengkhatamkan Al-Quran dalam tempo satu jam setengah atau dua jam. Ada
yang berkata kepada kami bahwa insya Allah hal itu dihitung sebagai
mengkhatamkan Al-Quran satu kali. Apakah ini benar?
Setelah itu kami berdoa kepada Allah agar pahala yang kami baca tersebut disampaikan kepada seluruh kaum mukminin, baik yang masih hidup ataupun yang sudah wafat. Apakah pahala tersebut akan sampai kepada yang sudah wafat? Mereka berdalil dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, "Jika seorang manusia wafat, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal; Sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan."
Begitu pula mereka melakukan perayaan maulid nabi dengan melakukan pengajian yang dimulai sejak jam sepuluh pagi dan berakhir hingga jam tiga sore. Mereka mulai dengan membaca istighfar, hamdalah, tasbih, takbir dan shalawat kepadan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam secara perlahan. Kemudian mereka membaca Al-Quran. Sebagian wanita ada yang berpuasa pada hari tersebut. Apakah mengkhususkan hari itu dengan beberapa ibadah termasuk bid'ah?
Demikian pula, di masyarakat kami terdapat doa yang sangat panjang. Kita diminta untuk berdoa dengan doa tersebut pada penghujung malam bagi yang mampu. Namnya doa rabithah. Diawali dengan membaca shalawat nabi dan shalawat kepada seluruh nabi, isteri-isteri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para shahabat, Khulafaurrasyidin, para tabi'in, para wali Allah yang shaleh dengan menyebutnya satu persatu. Benarkah bahwa dengan menyebutkan seluruh nama-nama tersebut membuat mereka akan mengenal kita dan akan memanggil kita di surga? Apakah doa tersebut bid'ah? Saya merasakan demikian, tapi teman-teman saya kebanyakan menentang saya. Akankah saya dihukum Allah jika saya keliru? Bagaimana saya dapat memahamkan mereka jika saya benar?
Masalah ini sangat membuat saya gusar. Dan setiap saya ingat sabda Rasulullah shallallalhu alaihi wa sallam, 'Setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat' semakin bertambah kesedihan saya.
Setelah itu kami berdoa kepada Allah agar pahala yang kami baca tersebut disampaikan kepada seluruh kaum mukminin, baik yang masih hidup ataupun yang sudah wafat. Apakah pahala tersebut akan sampai kepada yang sudah wafat? Mereka berdalil dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, "Jika seorang manusia wafat, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal; Sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan."
Begitu pula mereka melakukan perayaan maulid nabi dengan melakukan pengajian yang dimulai sejak jam sepuluh pagi dan berakhir hingga jam tiga sore. Mereka mulai dengan membaca istighfar, hamdalah, tasbih, takbir dan shalawat kepadan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam secara perlahan. Kemudian mereka membaca Al-Quran. Sebagian wanita ada yang berpuasa pada hari tersebut. Apakah mengkhususkan hari itu dengan beberapa ibadah termasuk bid'ah?
Demikian pula, di masyarakat kami terdapat doa yang sangat panjang. Kita diminta untuk berdoa dengan doa tersebut pada penghujung malam bagi yang mampu. Namnya doa rabithah. Diawali dengan membaca shalawat nabi dan shalawat kepada seluruh nabi, isteri-isteri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para shahabat, Khulafaurrasyidin, para tabi'in, para wali Allah yang shaleh dengan menyebutnya satu persatu. Benarkah bahwa dengan menyebutkan seluruh nama-nama tersebut membuat mereka akan mengenal kita dan akan memanggil kita di surga? Apakah doa tersebut bid'ah? Saya merasakan demikian, tapi teman-teman saya kebanyakan menentang saya. Akankah saya dihukum Allah jika saya keliru? Bagaimana saya dapat memahamkan mereka jika saya benar?
Masalah ini sangat membuat saya gusar. Dan setiap saya ingat sabda Rasulullah shallallalhu alaihi wa sallam, 'Setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat' semakin bertambah kesedihan saya.
Alhamdulillah
Pertama;
Dalam sunnah nabi terdapat banyak keutamaan untuk
berkumpul membaca Kitabullah Ta'ala. Namun agar seorang muslim mendapatkan
pahala, hendaknya perkumpulan untuk membaca Al-Quran tersebut sesuai dengan
ketentuan syariat. Di antara bentuk perkumpulan syar'I untuk membaca Al-Quran
adalah dengan cara semuanya membaca Al-Quran dengan tujuan untuk belajar, atau
memahami tafsirnya atau mempelajari cara membacanya. Ada juga dengan cara salah
seorang membaca, kemudian yang lain mendengarkan untuk meresapi dan merenungkan
ayat-ayat yang dibaca. Kedua cara tersebut terdapat dalam sunnah Nabi.
Sebagai tambahan, silakan perhatikan soal no. 22722, di dalamnya terdapat
penjelasan hukum berkumpul untuk membaca Al-Quran.
Adapun jika setiap orang membaca, lalu dianggap
sebagai khataman bagi semuanya, maka hal itu tidak benar. Karena pada dasarnya
masing-masing tidak ada yang mengkhatamkan Al-Quran secara lengkap, bahkan
sekedar mendengarnya juga tidak. Tapi setiap mereka hanya membaca sebagian
kecil darinya. Maka tidak ada pahala selain apa yang dia baca dari Al-Quran.
Ulama yang tergabung dalam Lajnah Da'imah berkata,
"Membagi setiap orang yang hadir satu juz
Al-Quran untuk dibaca masing-masing, pastinya tidak dianggap mengkhatamkan
Al-Quran bagi masing-masing mereka."
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 2/480.
Kedua.
Tidak disyariatkan berdoa bersama-sama setelah membaca Al-Quran, dan tidak
boleh juga berdoa dengan mengirim pahala bacaan kepada salah seorang yang sudah
wafat atau yang masih hidup. Hal tersebut tidak dilakukan Nabi kita shallallahu
alaihi wa sallam dan tidak juga dilakukan salah seorang shahabat radhiallahu
anhum.
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya,
"Apakah boleh saya mengkhatamkan Al-Quran untuk bapakku. Karena
seorang ummy, tidak dapat membaca dan menulis? Bolehkah saya mengkhatamkan
Al-Quran untuk seseorang yang dapat membaca dan menulis, tapi saya ingin
menghadiahkan khataman ini kepadanya? Bolehkan saya mengkhatamkan Al-Quran
untuk lebih dari seorang?
Maka beliau menjawab,
"Tidak terdapat dalam Al-Quran, sunnah dan perbuatan sahabat mulia
yang menunjukkan disyariatkannya menghadiahkan bacaan Al-Quran kepada kedua
orang tua atau kepada selainnya. Yang disyariatkan adalah Al-Quran dibaca untuk
diambil manfaatnya dan direnungkan maknanya serta diamalkan ajarannya.
Allah Ta'ala berfirman,
كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ
أُولُو الأَلْبَابِ (سورة ص: 29)
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai fikiran. SQ. Shod: 29.
إِنَّ هَذَا
الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ (سورة الإسراء:9)
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih
lurus. SQ. Alisraa: 9.
قُلْ هُوَ
لِلَّذِينَ آَمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ (سورة فصلت: 44)
"Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang
mukmin." SQ. Fusilat: 44.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اقرءوا القرآن ،
فإنه يأتي شفيعاً لأصحابه
"Bacalah Al-Qurna, karena dia akan menjadi syafaat bagi yang
membacanya."
Beliau juga bersabda,
يؤتى بالقرآن يوم
القيامة وأهله الذين كانوا يعملون به تقدمه سورة البقرة وآل عمران كأنهما غمامتان
أو غيايتان أو فرقان من طير صواف تحاجان عن صاحبهما
"Al-Quran akan datang kepada ahlinya yaitu orang yang mengamalkannya.
Diawali oleh surat Al-Baqarah dan Ali Imran, seakan keduanya adalah awan atau
sekawanan burung yang menghalangi pemiliknya.
Maksudnya adalah bahwa Al-Quran diturunkan untuk diamalkan dan direnungkan,
serta dijadikan sebagai sarana beribadah dengan membacanya dan memperbanyak
bacaan. Bukan untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah wafat atau selainnya.
Saya tidak mengetahui ada dalil yang dapat dijadikan pedoman tentang masalah
menghadiahkan ini. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Siapa beramal yang tidak kami perintahkan, maka dia tertolak."
Sebagian ulama berpendapat dibolehkannya hal tersebut (menghadiahkan bacaan
Al-Quran). Mereka berkata, 'Tidak mengapa menghadiahkan bacaan Al-Quran atau
semua amal shaleh yang lain. Mereka mengqiyaskan hal tersebut dengan shadaqah
dan berdoa untuk orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, pendapat yang benar
adalah pendapat pertama, berdasarkan hadits yang telah disebutkan, atau yang
maknanya serupa. Seandainya menghadiahkan ibadah disyariatkan, niscaya
salafushshaleh telah melakukannya, sedangkan ibadah tidak boleh diqiyaskan,
karena sifatnya tauqifiyah, yaitu tidak dapat ditentukan selain ketetapan
berdasarkan Al-Quran dan sunah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
berdasarkan hadits sebelumnya dan yang semakna dengan itu.
Majmu Fatawa, Syaikh Ibn Baz, 8/360-361
Adapun dalil yang mereka ambil dari hadits, "Jika Anak Adam meninggal
dunia, maka amalnya terputus kecuali tiga perkara..' adalah tidak tepat.
Justeru hadits tersebut jika diperhatikan menunjukkan tidak disyariatkannya
menghadiahkan pahala membaca Al-Quran bagi orang yang telah wafat. Karena Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Berdoa untuknya.." Bukan
"Membaca Al-Quran…"
Ketiga:
Tidak layak menyingkat shalawat terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dengan huruf S, atau SAW! Jika seseorang tidak merasa berat menulis soal
yang panjang seperti itu, mestinya dia tidak merasa berat menulis shalawat
dengan sempurna.
Penjelasan tentang hukum menulis singkatan tersebut terdapat dalam soal
jawab no. 47976. Silakan dilihat.
Keempat:
Peringatan maulid Nabi adalah bid'ah. Mengkhususkan ibadah pada hari
tersebut seperti tasbih, tahmid, I'tikaf, membaca Al-Quran dan berpuasa adalah
bid'ah. Pelakunya tidak mendapat pahala sedikipun, karena amalnya tertolak.
Dari Aisyah radhiallahu anha, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
"Siapa yang mengada-ada dalam perkara (agama kami) yang bukan
bersumber dari kami maka dia tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim dikatakan, "Siapa yang beramal dengan amal yang
tidak bersumber dari perkara (ajaran) kami, maka dia tertolak."
Al-Fakihani rahimahullah berkata, "Saya tidak dapatkan landasan
perayaan maulid ini, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah, tidak pula ada riwayat
bahwa tokoh ulama umat ini melakukannya. Padahal mereka adalah panutan dalam
beragama, sebab mereka selalu berpegang teguh mengikuti para pendahulunya. Yang
tampak bahwa perbuatan ini adalah bid'ah yang diada-adakan oleh mereka yang
telah diliputi hawa nafsu."
Al-Maurid fi Amalil Maulid, sebagaimana dalam kitab Hukmul Ihtifal Bil
Mulidin Nabawi, 1/8
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
"Seandainya perayaan maulid Nabi disyariatkan, niscaya telah
dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya, karena beliau
sangat berupaya mengajarkan umatnya dan tidak ada lagi sesudahnya seorang nabi
yang menjelaskan perkara yang beliau diamkan, karena Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam adalah penutup para nabi. Beliau telah menjelaskan kepada
manusia kewajiban yang harus ditunaikan terhadap dirinya, seperti mencintainya,
mengikuti ajarannya, shalawat kepadanya dan perkara lainnya yang telah
dijelaskan dalam Al-Quran dan Sunnah. Beliau tidak menyebutkan kepada umatnya
bahwa merayakan hari kelahirannya perkara yang disyariatkan agar mereka
amalkan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun tidak pernah
melaksanakannya sepanjang hidupnya. Kemudian para shahabat yang dikenal sebagai
orang-orang yang sangat mencintai beliau dan paling mengetahui hak-haknya, juga
tidak merayakan hari kelahirannya, tidak Khulafa Rasyidin, tidak juga yang
lainnya. Begitu pula para tabiin yang telah mengikuti jejak pendahulunya dengan
baik dalam tidak abad pertama yang utama, tidak melakukan perayaan ini.
Apakah anda mengira bahwa mereka tidak mengetahui haknya atau lalai di
dalamnya, sehingga orang-orang yang datang kemudian menjelaskan kekurangan
mereka dan menyempurnakan hak Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ini?!
Demi Allah, tidak! Hal tersebut tidak akan dikatakan oleh orang berakal yang
mengetahui dengan baik sejarah para shahabat dan tabi'in. Jika anda, wahai
pembaca, telah mengetahui bahwa perayaan maulid tidak terdapat pada masa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga pada masa shahabat yang mulia dan para
tabi'in generasi pertama, dan tidak dikenal oleh mereka, niscaya anda akan
memahami bahwa perkara tersebut adalah perbuatan bid'ah yang diada-adakan dalam
agama. Tidak boleh melaksanakannya, menyetujuinya dan mendakwahkannya. Tapi
yang wajib adalah mengingkarinya dan memperingatkannya.
Majmu Fatawa Syaikh Ibn Baz, 6/318-319
Kelima:
Tidak boleh seseorang mengada-ada sebuah doa dan zikir dan menyebarkannya
di tengah masyarakat. Doa yang disebut sebagai 'Doa Rabithah' adalah doa
bid'ah. Menghadirkan rupa orang yang didoakan dan meyakini bahwa mereka akan
mengenal orang yang mendoakannya dan memanggilnya di surga, semua itu merupakan
khayalan dan khurafat kaum sufi, tidak ada landasannya dalam agama Allah.
Batasan syariat yang dapat diketahui seorang muslim untuk membedakan mana
perbuatan sunnah dan mana yang bid'ah, mana yang benar dan mana yang keliru
telah jelas dan terang. Yaitu bahwa prinsip asal dalam ibadah adalah terlarang
kecuali dengan berdasarkan dalil. Maka hendaknya seseorang tidak bertaqarrub
kepada Allah Ta'ala dengan sebuah ibadah kecuali jika terdapat dalil dalam
Kitab dan Sunnah yang shahih bahwa hal tersebut disyariatkan. Dan bahwa
prinsipnya seorang muslim adalah mengikuti ajaran yang benar (ittiba) bukan
mengarang-ngaran ibadah (ibtida). Perbuatan bid'ah tertolak dan bahwa Allah
Ta'ala telah menyempurnakan agama ini dan menyempurnakan nikmat-Nya kepada
kita. Maka, apa kebutuhan kita terhadap bid'ah seperti ini padahal banyak
ibadah berdasarkan landasan yang shahih masih lalai kita lakukan!
Tiada ulasan:
Catat Ulasan